Menyambung silaturrahmi dengan keluarga
dan kerabat. Manusia pada fitrahnya adalah makhluk sosial yang tidak
bisa hidup sendiri. Selama hidup di dunia ini, manusia akan saling
membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itulah, interaksi sosial
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia di
dunia ini. Interaksi sosial itu sendiri bisa bermacam bentuknya, mulai
dari interaksi sosial dengan sesama anggota keluarga, interaksi sosial
ketetanggaan, interaksi sosial dengan rekan kerja, interaksi sosial
dengan teman dan sahabat, maupun interaksi sosial dalam keperluan
muamalah.
Kegiatan interaksi sosial ini juga
bermacam-macam sifatnya, ada yang membawa berkah dan manfaat, ada yang
tidak membawa manfaat tetapi juga tidak merugikan, tetapi ada pula yang
merugikan sekaligus membawa mudharat. Jenis interaksi sosial yang
merugikan dan membawa mudharat inilah yang wajib dihindari. Berikut ini
adalah macam-macam interaksi sosial:
Memelihara Silaturrahmi dengan Keluarga dan Kerabat
Dalam Islam, interaksi sosial dengan
keluarga dan kerabat dinamakan silaturrahmi. Jenis interaksi sosial
inilah yang paling utama untuk dipelihara, sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW: “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan
umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985
dan Muslim no. 2557).
Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga
bersabda: “Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung
silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan
diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari)
Inilah keutamaan menyambungkan
silaturrahmi. Sedangkan memutuskan silaturrahmi termasuk dosa besar
dalam Islam. Namun, tidak setiap hubungan interaksi sosial dapat
dimasukkan ke dalam golongan silaturrahmi. Hukum Islam telah mengatur
mana-mana yang termasuk silaturrahmi dan mana-mana yang bukan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sembahlah
Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).”
(HR. Bukhari no. 5983)
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk
disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini), berikut dosa
yang disimpan untuknya (di akhirat), daripada perbuatan melampaui batas
(kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)”
(HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211)
Dari Abu Hurairah, “Seorang pria
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai
Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung
silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya
berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan
mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya
seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka
makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu
selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Dalam berbagai hadits di atas telah
disebutkan bahwa silaturrahmi adalah dengan keluarga dan kerabat.
Menyambungkan dan memelihara silaturrahmi dengan keluarga dan kerabat
akan mendatangkan pahala yang besar, melapangkan rezeki, dan
memperpanjang umur. Sedangkan memutuskan silaturrahmi dengan keluarga
dan kerabat adalah dosa besar.
Ibnu Hajar dalam Al Fath juga
mendefinisikan pengertian silaturrahmi, yaitu: “Silaturrahmi adalah
dimaksudkan untuk kerabat, yaitu orang-orang yang masih memiliki
hubungan nasab (garis keturunan atau ikatan darah), baik saling mewarisi
ataukah tidak, demikian pula halnya, masih ada hubungan mahram ataukah
tidak.”
Dari Abdurrahman bin ‘Auf bahwa
Rasulullah SAW bersabda: “Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah
Ar-Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku.
Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa
yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194)
Sehingga berdasarkan
keterangan-keterangan shahih di atas, yang dimaksud dengan hubungan
silaturrahmi adalah hubungan dengan orang-orang yang masih memiliki
ikatan nasab atau garis keturunan atau ikatan darah, yaitu keluarga dan
sanak saudara (kerabat). Ini sejalan dengan arti kata silaturrahmi atau
silaturrahim itu sendiri, yaitu silah artinya hubungan dan rahmi (rahim)
artinya rahim (tempat tinggal janin sebelum lahir ke dunia).
Dengan demikian menyambung tali
silaturrahmi adalah menyambung hubungan yang baik dengan orang-orang
yang masih memiliki ikatan rahim (ikatan darah) dengan kita, misalnya
orang tua, saudara kandung, dan sanak kerabat. Sedangkan ipar yang
berlainan jenis bukanlah termasuk ke dalam hubungan silaturrahmi (tetapi
kita tetap diwajibkan untuk berbuat baik kepada ipar dalam kapasitas
hubungan antar manusia (hablun minannas)), sebab ipar yang berlainan
jenis hanyalah mahram mu’aqqot (mahram sementara) dan bukan mahram
muabbad (mahram selamanya atau mahram yang sebenarnya), sehingga ipar
yang berlainan jenis sejatinya bukanlah mahram. Tetapi, sekali lagi,
kita tetap diwajibkan untuk berbuat baik kepada ipar dalam kapasitas
hubungan antar manusia (hablun minannas).
Rasulullah SAW bersabda:
“Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki
Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai
ipar?” Beliau SAW menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no.
5232 dan Muslim no. 2172)
Sabda Beliau SAW yang lain: “Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan muhrim)
kecuali jika bersama mahramnya.” (HR. Bukhari No. 5233)
Sedangkan jenis hubungan antar manusia
yang selain silaturrahmi, tetapi tetap dianjurkan untuk memeliharanya
akan dijelaskan pada bagian penutup artikel ini.
Sehingga apabila tidak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam syariat Islam, maka interaksi sosial
tersebut tidak termasuk ke dalam kategori, baik silaturrahmi maupun
persahabatan yang dianjurkan dipelihara, malah hal tersebut merupakan
bentuk interaksi sosial yang tidak bermanfaat, yang layak dihindari
sebab cenderung kepada kesia-siaan dan kemudharatan, serta mendatangkan
kemurkaan Allah SWT. Interaksi sosial inilah yang termasuk ke dalam
bentuk kemaksiatan. Dengan demikian memutuskannya TIDAK TERMASUK
kategori memutuskan silaturrahmi.
Salah Kaprah Memahami Silaturrahmi
Salah satu contoh yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, misalnya antar orang berlainan jenis yang
bukan muhrim kemudian meminta nomor kontak atau alamat dengan alasan
ingin menjalin silaturrahmi lebih dekat. Nah, ini adalah sebuah alasan
yang mengada-ada, serta menunjukkan adanya salah pemahaman terhadap
pengertian silaturrahmi dalam Islam. Berdasarkan uraian sebelumnya telah
dijelaskan bahwa silaturrahmi adalah di antara orang-orang yang masih
memiliki ikatan nasab (garis keturunan). Sehingga hubungan antara
manusia berlainan jenis (laki-laki dan wanita) yang bukan muhrim seperti
contoh di awal paragraf tersebut jelas bukan silaturrahmi.
Alasan-alasan silaturrahmi yang seperti
itu tidak ada dalam syariat Islam. Bahkan termasuk ke dalam hal-hal yang
berpotensi mendatangkan kemudharatan, termasuk fitnah. Sehingga akan
lebih selamat kalau dihindari.
“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh
kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang
Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah: 169)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Q.S.
Al-An’am: 116)
Contoh-contoh lain mengenai interaksi
sosial yang berpotensi mendatangkan kemudharatan dapat Anda analisa
sendiri. Pedomannya adalah apabila tidak sesuai dengan aturan Hukum
Allah SWT, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka interaksi sosial seperti
itu jelas tidak akan mendatangkan manfaat, tidak akan mendatangkan
kebaikan ataupun berkah, serta malah berpotensi mendatangkan
kemudharatan, sehingga lebih baik dihindari. Sehingga tindakan Anda
untuk menghindarinya sama sekali bukan termasuk kategori memutuskan
silaturrahmi, melainkan sebagai salah satu upaya untuk menghindari
kemudharatan yang justru diwajibkan dalam Islam dan akan mendatangkan
kebaikan dan pahala dari Allah SWT.
Inilah pentingnya bagi kita sebagai
muslim untuk mempelajari aturan-aturan Hukum Islam. Sebab apabila kita
sudah mengetahui aturan-aturan hukum (syariat) Islam, maka kita tidak
akan lagi merasa gamang (bimbang) dalam menentukan sikap dalam perkara
apapun. Kita akan dengan mudah dan tanpa ragu-ragu mengambil sikap atau
keputusan berdasarkan pedoman hukum Allah SWT sesuai Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Apalagi ketika dihadapkan pada perkataan-perkataan atau
alasan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan agama, tetapi
membawa-bawa alasan agama (seperti contoh di atas). Padahal sesungguhnya
apa yang dikatakan golongan seperti itu tidak pernah ada dalam aturan
Islam. Bahkan dalam Islam, hal tersebut merupakan sesuatu yang sia-sia
dan justru bisa mendatangkan kemudharatan serta kemurkaan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Jadilah engkau
pemaaf, dan perintahlah manusia melakukan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al-A’raf: 199)
“Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas
dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil“. (Q.S.
Al-Qashash: 55)
Berbuat Baik dalam Hablun Minannas (Hubungan antar Manusia)
Selain hubungan silaturrahmi, terdapat
pula hubungan antar manusia (hablun minannas) yang dianjurkan untuk
diperlihara dengan baik, yaitu hubungan persaudaraan (persahabatan) di
antara orang-orang yang bukan kerabat tetapi masih muhrim. Contohnya
adalah persaudaraan (persahabatan) antara perempuan mukmin yang satu
dengan perempuan mukmin yang lain dan persaudaraan (persahabatan) antara
laki-laki mukmin yang satu dengan laki-laki mukmin yang lain. Seperti
firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat: 10)
Kemudian juga berbuat baik kepada
anak-anak yatim, fakir miskin, tetangga (baik tetangga dekat maupun
tetangga jauh), teman sejawat, ibnu sabil (musafir), dan orang-orang
yang dalam tanggungan kita (seperti pembantu rumah tangga), dengan cara
yang ma’ruf sesuai dengan syariat Islam. Seperti firman Allah SWT:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat
kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya.
Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.”
(Q.S. An-Nisa: 36 – 37)
Rasulullah SAW bersabda mengenai
hubungan dengan tetangga: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu,
sehingga tetangganya merasa tenteram dari gangguannya.” (HR. Muslim)
Sabda Beliau SAW tentang hablun
minannas: “Tidak termasuk umat kami orang yang tidak menghormati orang
yang lebih tua, dan tidak menyayangi orang yang lebih muda di antara
kita.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim)
Bagaimana dengan hubungan bisnis atau
pekerjaan antara pria dan wanita yang bukan muhrim? Islam memperbolehkan
wanita berbisnis. Ingat, bahwa Siti Khadijah ra. istri Rasulullah SAW
adalah seorang pengusaha (pebisnis). Tetapi dalam pelaksanaan hubungan
bisnis atau pekerjaan itu, tentu saja harus sesuai dengan syariat Islam.
Misalnya, dalam mengadakan pertemuan bisnis hendaknya selalu ditemani
mahramnya, sebab selain adanya larangan berduaan antara laki-laki dan
wanita yang bukan mahram tanpa ditemani mahram, juga setiap pertemuan
bisnis harus disertai saksi-saksi. Selain itu dalam mengadakan pertemuan
bisnis, hendaknya dipilih tempat yang tidak mendatangkan fitnah. Kalau
terpaksa mengadakan pertemuan bisnis di luar kantor, sebaiknya hindari
memilih tempat-tempat yang berpotensi mendatangkan fitnah, seperti di
hotel, atau apartemen yang tertutup. Ada banyak ruang-ruang publik yang
bisa digunakan dengan nyaman, misalnya rumah makan yang berada di
keramaian pusat perbelanjaan, serta jangan pernah datang sendirian.
Mintalah rekan-rekan (sesama perempuan) atau muhrim Anda untuk menemani.
Yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga suasana pembicaraan dengan
hanya membicarakan hal-hal yang bermanfaat saja.
Islam juga menganjurkan untuk bersahabat
dengan orang-orang yang bertaqwa, dan tidak bersahabat dengan orang
yang membelakangi agama, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu
orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
Juga sabda Rasulullah SAW: “Seseorang
itu mengikuti agama temannya, maka seseorang di antara kalian agar
melihat siapakah yang menjadi temannya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,
Hakim)
Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(Q.S. Al-Kahfi: 28)
Allah SWT juga berfirman dalam ayat
lainnya mengenai karakteristik orang-orang yang tidak boleh dijadikan
sahabat: “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa
yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti orang-
orang yang mendustakan ( ayat- ayat Allah ). Maka mereka menginginkan
supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak ( pula kepadamu ).
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,
Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, Yang sangat
enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, Yang kaku,
kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, Karena dia
mempunyai ( banyak ) harta dan anak.” (Q.S. Al-Qalam : 7 – 14)
Sehingga memutuskan
hubungan persahabatan dengan orang-orang yang dapat membawa pengaruh
buruk seperti itu tidak dapat dikatakan memutuskan hubungan
persahabatan, sebab memang tidak ada hubungan persahabatan apapun dengan
orang yang berakhlak buruk. Bahkan menjauhinya adalah lebih
utama dilakukan untuk menghindari kemudharatan. Tetapi, kita tetap harus
berbuat baik kepada mereka dengan berlaku ramah apabila bertemu,
membantunya apabila ia sedang ditimpa kesulitan, menjenguknya apabila ia
sakit, serta harus menunaikan kewajiban dalam hubungan antar manusia
lainnya. Yang tidak boleh adalah menjadikan golongan itu sebagai teman
atau sahabat kepercayaan.
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang
menghina), mereka mengucapkan, “Salam”.” (Q.S. Al-Furqan: 63)
No comments:
Post a Comment