Wednesday, February 28, 2018

Menyambung Silaturrahmi dengan Keluarga dan Kerabat

Menyambung silaturrahmi dengan keluarga dan kerabat. Manusia pada fitrahnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Selama hidup di dunia ini, manusia akan saling membutuhkan satu sama lain. Oleh karena itulah, interaksi sosial merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia di dunia ini. Interaksi sosial itu sendiri bisa bermacam bentuknya, mulai dari interaksi sosial dengan sesama anggota keluarga, interaksi sosial ketetanggaan, interaksi sosial dengan rekan kerja, interaksi sosial dengan teman dan sahabat, maupun interaksi sosial dalam keperluan muamalah.
Kegiatan interaksi sosial ini juga bermacam-macam sifatnya, ada yang membawa berkah dan manfaat, ada yang tidak membawa manfaat tetapi juga tidak merugikan, tetapi ada pula yang merugikan sekaligus membawa mudharat. Jenis interaksi sosial yang merugikan dan membawa mudharat inilah yang wajib dihindari. Berikut ini adalah macam-macam interaksi sosial:
Memelihara Silaturrahmi dengan Keluarga dan Kerabat
Dalam Islam, interaksi sosial dengan keluarga dan kerabat dinamakan silaturrahmi. Jenis interaksi sosial inilah yang paling utama untuk dipelihara, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557).
Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW juga bersabda: “Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (HR. Bukhari)
Inilah keutamaan menyambungkan silaturrahmi. Sedangkan memutuskan silaturrahmi termasuk dosa besar dalam Islam. Namun, tidak setiap hubungan interaksi sosial dapat dimasukkan ke dalam golongan silaturrahmi. Hukum Islam telah mengatur mana-mana yang termasuk silaturrahmi dan mana-mana yang bukan.
Rasulullah SAW bersabda: “Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya (di dunia ini), berikut dosa yang disimpan untuknya (di akhirat), daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211)
Dari Abu Hurairah, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Dalam berbagai hadits di atas telah disebutkan bahwa silaturrahmi adalah dengan keluarga dan kerabat. Menyambungkan dan memelihara silaturrahmi dengan keluarga dan kerabat akan mendatangkan pahala yang besar, melapangkan rezeki, dan memperpanjang umur. Sedangkan memutuskan silaturrahmi dengan keluarga dan kerabat adalah dosa besar.
Ibnu Hajar dalam Al Fath juga mendefinisikan pengertian silaturrahmi, yaitu: “Silaturrahmi adalah dimaksudkan untuk kerabat, yaitu orang-orang yang masih memiliki hubungan nasab (garis keturunan atau ikatan darah), baik saling mewarisi ataukah tidak, demikian pula halnya, masih ada hubungan mahram ataukah tidak.”
Dari Abdurrahman bin ‘Auf bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar-Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194)
Sehingga berdasarkan keterangan-keterangan shahih di atas, yang dimaksud dengan hubungan silaturrahmi adalah hubungan dengan orang-orang yang masih memiliki ikatan nasab atau garis keturunan atau ikatan darah, yaitu keluarga dan sanak saudara (kerabat). Ini sejalan dengan arti kata silaturrahmi atau silaturrahim itu sendiri, yaitu silah artinya hubungan dan rahmi (rahim) artinya rahim (tempat tinggal janin sebelum lahir ke dunia).
Dengan demikian menyambung tali silaturrahmi adalah menyambung hubungan yang baik dengan orang-orang yang masih memiliki ikatan rahim (ikatan darah) dengan kita, misalnya orang tua, saudara kandung, dan sanak kerabat. Sedangkan ipar yang berlainan jenis bukanlah termasuk ke dalam hubungan silaturrahmi (tetapi kita tetap diwajibkan untuk berbuat baik kepada ipar dalam kapasitas hubungan antar manusia (hablun minannas)), sebab ipar yang berlainan jenis hanyalah mahram mu’aqqot (mahram sementara) dan bukan mahram muabbad (mahram selamanya atau mahram yang sebenarnya), sehingga ipar yang berlainan jenis sejatinya bukanlah mahram. Tetapi, sekali lagi, kita tetap diwajibkan untuk berbuat baik kepada ipar dalam kapasitas hubungan antar manusia (hablun minannas).
Rasulullah SAW bersabda: “Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita.” Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar?” Beliau SAW menjawab, “Hamwu (ipar) adalah maut.” (HR. Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 2172)
Sabda Beliau SAW yang lain: “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan muhrim) kecuali jika bersama mahramnya.” (HR. Bukhari No. 5233)
Sedangkan jenis hubungan antar manusia yang selain silaturrahmi, tetapi tetap dianjurkan untuk memeliharanya akan dijelaskan pada bagian penutup artikel ini.
Sehingga apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam syariat Islam, maka interaksi sosial tersebut tidak termasuk ke dalam kategori, baik silaturrahmi maupun persahabatan yang dianjurkan dipelihara, malah hal tersebut merupakan bentuk interaksi sosial yang tidak bermanfaat, yang layak dihindari sebab cenderung kepada kesia-siaan dan kemudharatan, serta mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Interaksi sosial inilah yang termasuk ke dalam bentuk kemaksiatan. Dengan demikian memutuskannya TIDAK TERMASUK kategori memutuskan silaturrahmi.
Salah Kaprah  Memahami Silaturrahmi
Salah satu contoh yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya antar orang berlainan jenis yang bukan muhrim kemudian meminta nomor kontak atau alamat dengan alasan ingin menjalin silaturrahmi lebih dekat. Nah, ini adalah sebuah alasan yang  mengada-ada, serta menunjukkan adanya salah pemahaman terhadap pengertian silaturrahmi dalam Islam. Berdasarkan uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa silaturrahmi adalah di antara orang-orang yang masih memiliki ikatan nasab (garis keturunan). Sehingga hubungan antara manusia berlainan jenis (laki-laki dan wanita) yang bukan muhrim seperti contoh di awal paragraf tersebut jelas bukan silaturrahmi.
Alasan-alasan silaturrahmi yang seperti itu tidak ada dalam syariat Islam. Bahkan termasuk ke dalam hal-hal yang berpotensi mendatangkan kemudharatan, termasuk fitnah. Sehingga akan lebih selamat kalau dihindari.
“Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. Al-Baqarah: 169)
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Q.S. Al-An’am: 116)
Contoh-contoh lain mengenai interaksi sosial yang berpotensi mendatangkan kemudharatan dapat Anda analisa sendiri. Pedomannya adalah apabila tidak sesuai dengan aturan Hukum Allah SWT, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka interaksi sosial seperti itu jelas tidak akan mendatangkan manfaat, tidak akan mendatangkan kebaikan ataupun berkah, serta malah berpotensi mendatangkan kemudharatan, sehingga lebih baik dihindari. Sehingga tindakan Anda untuk menghindarinya sama sekali bukan termasuk kategori memutuskan silaturrahmi, melainkan sebagai salah satu upaya untuk menghindari kemudharatan yang justru diwajibkan dalam Islam dan akan mendatangkan kebaikan dan pahala dari Allah SWT.
Inilah pentingnya bagi kita sebagai muslim untuk mempelajari aturan-aturan Hukum Islam. Sebab apabila kita sudah mengetahui aturan-aturan hukum (syariat) Islam, maka kita tidak akan lagi merasa gamang (bimbang) dalam menentukan sikap dalam perkara apapun. Kita akan dengan mudah dan tanpa ragu-ragu mengambil sikap atau keputusan berdasarkan pedoman hukum Allah SWT sesuai Al-Qur’an dan Al-Hadits. Apalagi ketika dihadapkan pada perkataan-perkataan atau alasan orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan agama, tetapi membawa-bawa alasan agama (seperti contoh di atas). Padahal sesungguhnya apa yang dikatakan golongan seperti itu tidak pernah ada dalam aturan Islam. Bahkan dalam Islam, hal tersebut merupakan sesuatu yang sia-sia dan justru bisa mendatangkan kemudharatan serta kemurkaan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Jadilah engkau pemaaf, dan perintahlah manusia melakukan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q.S. Al-A’raf: 199)
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil“. (Q.S. Al-Qashash: 55)
Berbuat Baik dalam Hablun Minannas (Hubungan antar Manusia)
Selain hubungan silaturrahmi, terdapat pula hubungan antar manusia (hablun minannas) yang dianjurkan untuk diperlihara dengan baik, yaitu hubungan persaudaraan (persahabatan) di antara orang-orang yang bukan kerabat tetapi masih muhrim. Contohnya adalah persaudaraan (persahabatan) antara perempuan mukmin yang satu dengan perempuan mukmin yang lain dan persaudaraan (persahabatan) antara laki-laki mukmin yang satu dengan laki-laki mukmin yang lain. Seperti firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat: 10)
Kemudian juga berbuat baik kepada anak-anak yatim, fakir miskin, tetangga (baik tetangga dekat maupun tetangga jauh), teman sejawat, ibnu sabil (musafir), dan orang-orang yang dalam tanggungan kita (seperti pembantu rumah tangga), dengan cara yang ma’ruf sesuai dengan syariat Islam. Seperti firman Allah SWT: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa: 36 – 37)
Rasulullah SAW bersabda mengenai hubungan dengan tetangga: “Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu, sehingga tetangganya merasa tenteram dari gangguannya.” (HR. Muslim)
Sabda Beliau SAW tentang hablun minannas: “Tidak termasuk umat kami orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua, dan tidak menyayangi orang yang lebih muda di antara kita.” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan Hakim)
Bagaimana dengan hubungan bisnis atau pekerjaan antara pria dan wanita yang bukan muhrim? Islam memperbolehkan wanita berbisnis. Ingat, bahwa Siti Khadijah ra. istri Rasulullah SAW adalah seorang pengusaha (pebisnis). Tetapi dalam pelaksanaan hubungan bisnis atau pekerjaan itu, tentu saja harus sesuai dengan syariat Islam. Misalnya, dalam mengadakan pertemuan bisnis hendaknya selalu ditemani mahramnya, sebab selain adanya larangan berduaan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa ditemani mahram, juga setiap pertemuan bisnis harus disertai saksi-saksi. Selain itu dalam mengadakan pertemuan bisnis, hendaknya dipilih tempat yang tidak mendatangkan fitnah. Kalau terpaksa mengadakan pertemuan bisnis di luar kantor, sebaiknya hindari memilih tempat-tempat yang berpotensi mendatangkan fitnah, seperti di hotel, atau apartemen yang tertutup. Ada banyak ruang-ruang publik yang bisa digunakan dengan nyaman, misalnya rumah makan yang berada di keramaian pusat perbelanjaan, serta jangan pernah datang sendirian. Mintalah rekan-rekan (sesama perempuan) atau muhrim Anda untuk menemani. Yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga suasana pembicaraan dengan hanya membicarakan hal-hal yang bermanfaat saja.
Islam juga menganjurkan untuk bersahabat dengan orang-orang yang bertaqwa, dan tidak bersahabat dengan orang yang membelakangi agama, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran: 118)
Juga sabda Rasulullah SAW: “Seseorang itu mengikuti agama temannya, maka seseorang di antara kalian agar melihat siapakah yang menjadi temannya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim)
Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Q.S. Al-Kahfi: 28)
Allah SWT juga berfirman dalam ayat lainnya mengenai karakteristik orang-orang yang tidak boleh dijadikan sahabat: “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti orang- orang yang mendustakan ( ayat- ayat Allah ). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak ( pula kepadamu ). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, Yang  banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, Yang  sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, Yang  kaku, kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, Karena  dia mempunyai ( banyak ) harta dan anak.” (Q.S. Al-Qalam : 7 – 14)
Sehingga memutuskan hubungan persahabatan dengan orang-orang yang dapat membawa pengaruh buruk seperti itu tidak dapat dikatakan memutuskan hubungan persahabatan, sebab memang tidak ada hubungan persahabatan apapun dengan orang yang berakhlak buruk. Bahkan menjauhinya adalah lebih utama dilakukan untuk menghindari kemudharatan. Tetapi, kita tetap harus berbuat baik kepada mereka dengan berlaku ramah apabila bertemu, membantunya apabila ia sedang ditimpa kesulitan, menjenguknya apabila ia sakit, serta  harus menunaikan kewajiban dalam hubungan antar manusia lainnya. Yang tidak boleh adalah menjadikan golongan itu sebagai teman atau sahabat kepercayaan.
“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, “Salam”.” (Q.S. Al-Furqan: 63)

No comments:

Post a Comment